Perempuan itu Bernama Wiwid

Mukena dilipat dan diletakkan kembali ke dalam lemari, urung dipakainya. Di bawah lipatan mukena itu, sebuah kitab suci al-quran juga tak bergeser dari tempatnya semula. Wiwid lebih memilih mengambil sebuah pigura kecil di dalam lemari. Foto seorang perempuan mengenakan jilbab dipandanginya. Puas matanya menyapu seluruh sudut pigura polos tanpa bingkai itu diletakkan kembali. 

“Aku dulu cantik, bersih dan suci,” gumam Wiwid.
Mukena itu tak selamanya teronggok rapi di dalam lemari. Sesekali masih  digunakannya untuk sholat. Al – quran itu juga sesekali dibacanya, terutama jika pikirannya sedang kalut.
Bergegas ia keluar kamar dan duduk berselonjor di teras depan setelah menutup rapat lemari mungil tersebut. Sebatang rokok terselip di antara jarinya. Bercelana pendek dan tanktop ketat, penampilan Wiwid seperti memancing mata jalang lelaki untuk melirik. Asap putih yang berhamburan dari mulutnya, seperti serpihan masa lalu yang tiba – tiba menyeruak dari ingatannya.
“Kenapa kau tak mandi saja,” kata seorang perempuan paruh baya yang keluar dari dalam rumah.
“Sebentar lah bu,” sahut Wiwid acuh.
“Jadi kau pulang saat ramadhan nanti,” tanya perempuan itu.
“Kemungkinan besar iya, semoga saya tak kembali lagi ke tempat ini,” jawab Wiwid.
Belum ada satu tahun Wiwid mendiami sebuah rumah yang biasa disebut wisma di lokalisasi Jarak, Surabaya. Ya, ia satu di antara ribuan wanita pekerja seks yang menghuni Jarak.
“Ya sudah, asal kau bersungguh – sungguh aku turut senang,” harap perempuan itu.
Ingatan Wiwid kembali ke masa lampau, saat ia belajar mengaji di sebuah pondok pesantren di Ambulu, Jember. Tiga tahun dihabiskan belajar sekaligus sekolah di Madrasah Aliyah setara SMA di pesantren yang teduh itu.
Bila ramadhan tiba, pesantren dan Jember selalu hiruk pikuk menyambut bulan penuh berkah itu. Karnaval untuk menyambut ramadhan, adalah salah satu kegiatan yang paling ditunggu. Wiwid pun larut dalam keramaian tersebut, salah satu kesibukan lainnya adalah membantu sang ibu membuat takjil untuk berbuka puasa.
Wajah Pras, lelaki yang dicintainya tiba – tiba menyembul di antara sekian ingatan masa lalunya. Pras juga seorang santri di pondok pesantren tersebut. Menjalin kasih secara sembunyi – sembunyi, jejak Pras seperti lenyap ditelan bumi setamat belajar di pondok pesantren itu. Keinginannya menghapus masa itu, justru membuat Wiwid terdampar di Jarak, Surabaya. Ia harus berbohong kepada keluarganya dengan alasan bekerja di salon.
Malam semakin larut, alunan musik dangdut berdentum keras. Kendaraan dan pria pemburu kenikmatan lalu lalang di jalanan Jarak. Memakai celana ketat dipadu kaos ketat, Wiwid asyik duduk di ruang tengah wisma. Seorang pria berjalan terhuyung – huyung masuk ke dalam wisma itu. Alih – alih menyambut tamu itu, Wiwid memilih masuk ke kamar dan menutup rapat pintu.
Ia hanyalah wanita pekerja seks sebagaimana umumnya. Uniknya, tamu yang datang dalam keadaan mabuk atau tubuh penuh tatto tak akan pernah dilayaninya. “Aku memang wanita kotor, tapi melayani lelaki mabuk dan penuh tattoo itu jauh lebih buruk,” yakin Wiwid.
“Hanya tuhan yang berhak menilai apa yang aku lakukan,” katanya dalam hati.
Siang berganti malam, hari berganti hari. Waktu pun cepat berlalu. Wiwid tak lagi terlihat di wisma itu.




Komentar

Posting Komentar