Sepenggal Cerita si Lilis

Memakai celana pendek dan kaos putih, penampilan Lilis terlihat sederhana. Rambutnya yang hitam lurus sepunggung dibiarkan terurai, membuatnya terlihat cantik. Siang itu, ia berbagi tempat di sofa panjang berwarna merah dengan beberapa rekannya. Sendirian Lilis menikmati semangkuk bakso. Rekannya lebih memilih menghisap rokok sembari asyik menonton televisi. 



Bergegas Lilis masuk ke dalam kamar meninggalkan rekannya saat Iwan datang dan masuk ke dalam kamar. “Mau bakso mas,” ujar Lilis menawari Iwan yang merebahkan diri di ranjang di dalam ruangan mungil itu.
“Gak, terimakasih. Santai saja, tak perlu keburu kau habiskan sarapanmu itu,” ucap Iwan lirih.
Lilis hanya tersenyum simpul. “Iya, aku baru bangun tidur, mandi dan makan bakso ini. Perut rasanya malas makan nasi,” sahutnya.
Bergegas Lilis keluar kamar setelah semangkuk bakso tandas. Tak berselang lama, ia kembali masuk dengan sebotol air mineral di tangan. Daun pintu segera ditutupnya dan bersila di ranjang menemani Iwan. “Kapan ya aku bisa hidup normal, bangun pagi hari dan bukannya tidur menjelang pagi,” katanya usai meneguk air mineral itu.
Sebagian besar waktu Lilis dihabiskan di dalam rumah yang berisi sejumlah kamar berukuran mungil tersebut. Setiap hari, kamar yang ditempatinya juga tak menentu. Terkadang di kamar depan, lain waktu bisa di kamar paling belakang. Tergantung kamar mana yang didapatkannya saat pagi menjelang.
Kamar mungil itu bisa disebut jauh dari kata layak. Ukurannya hanya sekitar 3 x 2 meter. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ranjang berukuran 2 x 1 meter, sebuah lemari kecil. Di dalam kamar itu juga ada sebuah kamar mandi kecil yang mungkin hanya cukup dipakai jongkok.
Di kamar mungil itu pula setiap malam ia berbagi kehangatan kepada setiap lelaki yang datang berkunjung. Kenikmatan sesaat, dengan lembaran rupiah yang diterima atas jasanya. Ya, Lilis adalah seorang Wanita Pekerja Seks (WPS). Hampir dua tahun wanita asal Wajak, Kabupaten Malang itu menghuni salah satu rumah di kawasan yang dikenal sebagai gang Dolly.
“Awal puasa ramadhan mau gak mengantarku ke pasar Kembang Jepun,” ucap Lilis sembari merebahkan diri dan memeluk Iwan.
“Untuk apa,” tanya Iwan.
“Aku mau beli kerudung, mukena dan kebutuhan lainnya untuk oleh – oleh keluarga di kampung,” balas Lilis.
“Selama puasa ramadhan aku libur tapi masih tinggal di kos sekitar rumah ini, sebelum lebaran aku harus sudah tiba rumah,” lanjutnya.
Bagi Lilis dan kawan – kawan seprofesinya, ramadhan adalah waktu untuk berlibur. Ada memanfaatkannya untuk benar – benar berpuasa sebulan penuh, ada yang puasa kendang kempul (hanya awal dan akhir ramadhan saja berpuasa), ada juga yang tetap bekerja dengan curi – curi kesempatan untuk menerima tamu.
“Iya nanti kalau ada waktu aku antar kamu belanja, sekalian jalan – jalan keliling kota ya,” janji Iwan.
“Benar ya, aku tunggu loh,” harap Lilis dengan manja.
“Iya, apa perlu sekalian saat lebaran nanti aku antar pulang ke rumah. Sekaligus tak perlu kembali ke tempat ini,” goda Iwan.
“Apa kamu berani main ke rumahku, apa gak malu,” sergah Lilis.
Iwan hanya tersenyum mendengar ucapan itu.
Saat lebaran, biasanya Lilis beserta rekan – rekannya di antar sampai ke rumah menggunakan mobil sang pemilik rumah atau biasa disebut wisma tempatnya bekerja. Tidak sekedar di antar, oleh bos pemilik wisma, Lilis mengaku diberi uang saku sebesar Rp 5 juta.
Terserah uang itu mau dipakai apa, tetap utuh atau dihabiskan untuk lebaran di kampung. Tetapi uang itu bukan pemberian murni. “Ada kewajiban untuk mengembalikan uang yang diberikan itu. Seperti pinjaman lah,” jelas Lilis.
Selama bekerja, Lilis harus pandai – pandai mengatur uang yang didapatnya. Untuk satu jam menemari seorang tamu, duit sebesar Rp 85 ribu menjadi imbalannya. Namun uang itu masih harus dibagi sebesar Rp 45 ribu untuk pemilik wisma. Terkadang, Lilis juga masih harus memberi Rp 7 ribu untuk calo tamu.
Setiap malam, paling sepi ada empat tamu yang dilayani. Pernah dalam sehari ia melayani 20 orang tamu. Dengan jam kerja sejak pukul 13.00 hingga pukul 04.00, kesehatan Lilis sangat rentan. Tapi setiap bulan sekali ia memeriksakan kesehatannya di puskesmas setempat.
“Kamu kalau main dengan perempuan sepertiku, lebih baik pakai kondom,” ujar Lilis mengingatkan.
“Kenapa memangnya,” tanya Iwan.
“Perempuan yang bekerja sepertiku ini kotor, lebih baik pakai pelindung. Lebih baik lagi tak usah main dengan perempuan sepertiku,” selorohnya.
“Aku sendiri sebenarnya ingin sekali berhenti, tapi entah kapan,” lanjut Lilis.
Wanita berkulit kuning langsat ini sebenarnya memprihatinkan. Ia merasa dijual untuk menjadi wanita pekerja seks. Berasal dari keluarga buruh tani, Lilis masih sangat belia saat ikut sang bapak bekerja di Jakarta.
Hanya beberapa tahun, wanita yang hanya tamat sekolah dasar ini disuruh sang bapak untuk pulang ke Malang. “Pulang dan disuruh bapak ikut saudara untuk bekerja,” kenang Lilis.
Saat itu usinya baru menginjak 18 tahun. Penuh harapan, ia menuju tempat kerja yang dijanjikan. Ternyata, tempat yang dituju itu sebuah rumah yang bisa disebut villa peristirahatan di Tretes, Pasuruan. “Saat tiba di tempat itu aku baru tahu apa pekerjaanku, melayani lelaki. Di tempat itu pula kegadisanku direnggut. Aku hanya takut tapi tak bisa berbuat apa – apa,” jelas Lilis lirih.
Di Tretes, Pasuruan, ia hanya bertahan selama satu tahun. Setelah itu, ia terpaksa dikirim ke sebuah daerah di Kalimantan. Juga bekerja sebagai wanita pekerja seks.
Di pulau Borneo ini juga kehidupan Lilis sebenarnya berubah. Ia akhirnya diperistri oleh seorang pria paruh baya yang sering mengunjungi tempatnya bekerja. Suaminya seorang warga pribumi Kalimantan itu meminta Lilis berhenti dari pekerjaannya.
“Dan aku pulang kampung, suamiku tetap bekerja di Kalimantan. Seringkali suamiku pulang ke Malang untuk menjengukku,” ia melanjutkan, “Aku juga akhirnya hamil, tapi kemudian janinku gugur dalam kandungan. Mungkin tuhan belum mempercayaiku untuk menitipkan seorang anak,”.
Seringkali bocah kecil dengan berbaju serba putih menemuinya di alam mimpi. “Mungkin itu anakku yang menemuiku lewat mimpi,” ucap Lilis lirih.
Meninggalnya bayi dalam kandungan itu membuat sang suami jarang pulang. Lambat laun, bahkan tak lagi datang ke Malang. “Keluargaku hanya buruh tani, selama di rumah lebih banyak membantu bekerja di sawah. Tapi akhirnya aku putuskan kerja lagi seperti ini,” katanya.
Lama Lilis terdiam dalam lamunan. Iwan bangkit dari rebahannya, rambut Lilis yang panjang dibelainya. Bibir Lilis mendarat di pipi Iwan. “Kenapa kamu membuatku mengingat masa laluku,” bisik Lilis.
“Jangan lama – lama bekerja disini, lebih baik secepatnya keluar,” pinta Iwan.
“Sebentar lagi, setelah ini tabunganku cukup untuk membuka usaha di rumah. Aku pasti pulang, aku tak mau tubuhku teronggok di tempat ini saat ajal menjemput,” balas Lilis.


Komentar