Lima Episode Kepahlawanan HR Muhammad

“Tali Duk Tali Layangan, Nyowo Sitok Ilang-ilangan” (HR Muhammad)
Bagi warga Kota Surabaya, sebagian besar tentu tidak asing lagi dengan nama salah satu jalan yang ada di Kota Pahlawan itu. Jalan HR Muhammad, yang berada di kawasan Surabaya Barat.
Nama jalan itu diambil dari nama salah seorang pejuang angkatan 1945. Salah seorang tokoh sentral dalam peristiwa Perang 10 Nopember di Surabaya. Beliau lahir pada 5 Januari 1905 di Sragen, Jawa Tengah itu cukup punya peran penting dalam perang besar di republik ini.



HR Muhammad bersama Drg. Moestopo dan Bung Tomo, bahu membahu dalam  perjuangan melawan tentara sekutu yang masuk di Surabaya. Ketiganya memiliki peran sentral dalam pertempuran 10 Nopember 1945. Hanya saja, jika Drg. Moestopo dan Bung Tomo sudah lebih dulu diakui sebagai Pahlawan Nasional, tidak demikian halnya dengan HR Muhammad yang pangkat militer terakhirnya adalah Mayor Jenderal.
“Beberapa pejuang seangkatan HR Muhammad sudah diakui sebagai Pahlawan Nasional. Tapi sampai kini entah kenapa HR Muhammad belum mendapat pengakuan sebagai Pahlawan Nasional. Seluruh masyarakat Jawa Timur mendukung pengakuan HR Muhammad sebagai Pahlawan Nasional,” urai Indroyono Soesilo, cucu dari almarhum HR Muhammad.
Indroyono menyebutkan setidaknya ada 5 episode dalam pertempuran 10 Nopember 1945 yang menyebut nama Mayor Jenderal HR Muhammad dalam perang itu.
Pertama, sebelum Nopember 1945 saat menjabat sebagai BKR Jatim (militer nasional saat itu-red), bersama drg Moestopo selaku Kepala BKR Jatim, berperan merebut uang milik pemerintah kolonial Belanda senilai 100 juta Gulden di Bank Escompto.
“Merebut uang itu setelah mendapat informasi dari Dr. Samsi selaku Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia,” papar Indroyono.
Uang itu kemudian dibagikan ke Bung Karno untuk membiayai perjuangan senilai 35 juta Gulden. Sisanya sebanyak 65 juta Gulden digunakan untuk membiayai perjuangan di Jawa Timur.
Kedua, pada 30 September 1945, HR Muhammad berjasa mencegah pertumpahan darah dalam upaya perebutan senjata di gudang amunisi Don Bosco Jalan Tidar, Surabaya. Waktu itu setelah Jepang menyerah dari Sekutu, rakyat menyerbu Don Bosco untuk merebut senjata. Tapi oleh tentara Jepang yang bertahan, menolak memberikan senjata itu ke rakyat. Mereka hanya mau menyerahkannya ke TKR dan Polisi. HR Muhammad yang waktu itu mengepalai TKR urusan Darat berhasil menegosiasikan upaya perebutan senjata itu.
“Senjata diserahkan dan dampaknya adalah persenjataan TKR di Jawa Timur saat itu adalah yang paling modern di seluruh Indonesia,” kata Indroyono.
Ketiga, perannya sebagai anggota Kontrak Biro saat pecah pertempuran sporadis menolak kedatangan sekutu yang diboncengi NICA di Surabaya. Waktu itu tanggal 30 Oktober 1945 bersama Kapten Shaw anggota kontak biro dari Inggris, masuk ke dalam Gedung Internasio untuk meredakan pertempuran di sekitar Jembatan Merah.
Ternyata, di luar Gedung Internasio terjadi insiden yang menyebabkan Brigjen Mallabx tewas digranat. Saat itu HR Muhammad disandera tentara Gurka Inggris sehari semalam. Waktu itu dia meyakinkan tentara Inggris bahwa bukan pejuang Indonesia yang membunuh Brigjen Mallaby. Dia bahkan membuka baju dan berteriak, “tembak saya kalau pemuda Indonesia yang bunuh Mallaby,”.
Dalam insiden itu, HR Muhammad juga nekad masuk ke markas tentara sekutu di Gedung Internasio sambil mengucap kata yang terkenal hingga sdkarang yakni,“Tali Duk Tali Layangan, Nyowo Sitok Ilang-ilangan”.
Keempat, setelah pecah perang sejak 10 Nopember 1945, HR Muhammad pada tanggal 8 Nopember 1945 diutus oleh Residen Sudirman untuk bernegosiasi dengan tentara Inggris yang menguasai Morokrembangan. Pertempuran menghebat dan lagi-lagi HR Muhammad yang memimpin koordinasi pertempuran pasukan darat TKR saat itu. Sementara Bung Tomo dengan kemampuan retorikanya terus menggelorakan semangat melawan lewat radio. Saat itu para wanita dan anak-anak sudah diintruksikan mengungsi, sedangkan para pemudanya bertahan.
Kelima, pertempuran 10 November 1945 ternyata berjalan lebih lama dari perkiraan tentara Inggris. Pada 15 Nopember 1945, para pimpinan pejuang yang terdesak di Wonocolo menggelar pertemuan dan sepakat Dewan Pertahanan Rakyat Indonesia. Ketuanya secara aklamasi terpilih HR Muhammad. Dalam pertempuran di Wonocolo itulah, HR Muhammad terluka, kena pecahan mortir di kening dan harus mendapat perawatan. Diantara yang merawat HR Muhammad saat itu adalah dr Soewandhie (yang kini diabadikan jadi nama RS milik Pemkot Surabaya) dan KH Hasyim Asyari (kakek Gus Dur) di Jombang.
“Saya pernah membaca soal sebuah negoisasi antara sekutu dan tentara Republik Indonesia sebelum perang 10 Nopember di sebuah perpustakaan di Universitas Leiden, Belanda. Salah satu nama tokoh nasional kita yang disebut adalah HR Muhammad,” tandas Indroyono.
Keluarga almarhum HR Muhammad sendiri terus berupaya memperjuangkan gelar pahlawan nasional untuk beliau. Pada tanggal 9 Juni 2012 silam, keluarga almarhum menyerahkan sedikitnya 27 koleksi pribadi milik HR Muhammad ke Museum Brawijaya, Malang.
Koleksi yang diserahkan untuk dipamerkan itu antara lain seragam militer lengkap beserta persenjataannya, bintang-bintang jasa, dan sejumlah foto. Penyerahan berbagai barang koleksi itu bertujuan agar nilai-nilai perjuangan HR Muhammad bisa diteladani oleh para generasi muda.
“Selain itu juga sebagai upaya mendorong diakuinya HR Muhammad sebagai Pahlawan Nasional,” ucap Indroyono Soesilo.
Upaya mendorong pengakuan sebagai Pahlawan Nasional ini mendapat dukungan dari seluruh rakyat Jawa Timur. Pada 1 Juni 2012 silam, Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, sudah mengirim surat kepada Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono untuk meminta pengakuan Pahlawan Nasional bagi HR Muhammad.
Hingga wafat dalam usia 84 tahun pada 1988 lalu, HR Muhammad menerima berbagai perhargaan. Diantaranya, menerima Bintang Mahaputera Pratama dari Presiden Soeharto pada 1986, Bintang Gerilya dari Presiden Soekarno pada 1958, dan 10 Satya Lencana. Selain diabadikan sebagai nama jalan di Surabaya, patungnya juga berdiri di Buduran, Sidoarjo, karena HR Muhammad pernah jadi Daidanco (komandan) Pembela Tana Air (PETA) Sidoarjo pada era penjajahan Jepang.

Komentar