Hutan di Kota Batu Tinggal Separuh

Majunya pariwisata di Batu menciptakan peluang bisnis baru. Investor pun “berbondong-bondong” masuk ke Kota Apel ini. Sayangnya perkembangan ini berdampak pada kerusakan lingkungan, apalagi pemerintah setempat tidak memiliki regulasi untuk membatasi. Separuh hutan dari luas keseluruhan rusak parah, pun demikian dengan sumber air.


Data dari Kantor Lingkungan Hidup Kota Batu menyebutkan hutan di Kota Batu seluas 11.227 hektare (ha). Dari luasan hutan itu, tingkat kerusakannya lebih dari separuh, mencapai 5.900 ha. Kerusakan hutan itu disebabkan oleh kegiatan penjarahan hutan dan peralihfungsian hutan menjadi lahan pertanian.
“Hal inilah yang menjadi penyebab utama menyusutnya sejumlah sumber air karena berkurangnya wilayah resapan air,” kata Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Batu, Bambang Parianom.
Penjarahan pohon atau peralihfungsian hutan ini membawa dampak buruk. Menurut Bambang, di daerah aliran sungai (DAS) Brantas ditengarai aliran airnya sudah tidak sederas dulu. Sepadan DAS Brantas juga ikut terancam rusak, ancaman erosi dan sedimentasi. “Selain itu ketersediaan air juga berkurang dan ekosistem di sekitar sungai juga ikut terancam,” tandas Bambang.
Bambang tidak berani menyebut secara kualitatif berapa sumber air yang debitnya menurun atau berapa sumber yang mati. Yang pasti, saat ini ditengarai banyak saluran irigasi sawah tidak teraliri air sebagaimana mestinya. “Sumber air yang debitnya besar atau diatas 50 liter per detik hanya sekitar 13. Kecenderungan saat ini debit air menurun dan sebagian sumber mati,” ujar Bambang.
Upaya untuk menghidupkan sumber air terus dilakukan Kantor Lingkungan Hidup. Salah satunya dengan melibatkan sejumlah elemen masyarakat dengan membuat gerakan reboisasi. Tidak hanya di sekitar sumber air, tapi juga di hutan yang kini sudah gundul. “Kami terus melakukan penghijauan,” ucap Bambang.
Sementara itu, data dari Dinas Pengairan dan Bina Marga Kota Batu menyebutkan, di kota ini terdapat 111 titik sumber air. Seluruhnya tersebar secara merata di 3 kecamatan yang ada yakni Kecamatan Batu, Kecamatan Bumiaji dan Kecamatan Junrejo.
Sumber air di 3 kecamatan tersebut diantaranya, di Kecamatan Bumiaji dari 57 titik sumber air dan hanya 8 sumber yang memiliki debit diatas 50L/dt, 34 sumber air dengan debit 5 L/dt – 50L/dt dan 15 sumber air debitnya dibawah 5L/dt
Kecamatan Batu terdapat 32 sumber air dan hanya 3 sumber saja yang debitnya diatas 50L/dt, sebanyak 13 sumber air dengan debit 5L/dt – 50 L/dt dan 16 sumber air lainnya berdebit di bawah 5L/dt.
Kecamatan Junrejo dari 22 titik sumber air hanya ada 2 sumber yang memiliki debit diatas 50L/dt, sebanyak 14 sumber berdebit 5L/dt – 50 L/dt, sisanya 6 sumber air debitnya di bawah 5L/dt.
Kepala Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral, Dinas Pengairan dan Bina Marga Kota Batu, Heru Suprayitno mengatakan, data tersebut adalah hasil survei tahun 2004 – 2005 silam. “Kami masih belum bisa memastikan kondisi saat ini, memang kemungkinan  ada sumber yang semakin menurun debit airnya,” ujar Heru.
Untuk mengetahui perkembangan sumber air, kini Dinas Pengairan dan Bina Marga melakukan pemetaan sumber air. Tujuannya, untuk mengetahui apakah ada sumber yang sudah tidak menghasilkan air atau bahkan ada sumber air baru yang bisa digunakan.
Sementara untuk perlindungan sumber air yang sudah ada, menurut Heru, Pemkot tidak memiliki payung hukumnya. Meski sudah ada PP No 43/2008 tentang Air Tanah. “Untuk regulasi di daerah, kami tidak memilikinya. Baik itu yang mengatur tentang pengelolaan sumber air, hingga sanksi bagi pihak yang merusak lingkungan,” urai Heru.
Pemkot Batu pun juga tidak bisa mengatur tentang penggunaan sumber air. Baik itu oleh warga atau juga yang diambil oleh piwak swasta seperti hotel. Meski ditengarai banyak hotel yang mengambil air langsung dari sumber untuk kebutuhan operasional mereka sehari-hari.

Komentar

Posting Komentar