Dari Pakai Jilbab Hingga Tahlilan

Suasana aula Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tlogo, Kabupaten Blitar pagi pekan lalu cukup meriah. Aula yang berada di lantai dua dipenuhi puluhan siswa dari berbagai SMP dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) di Blitar. Mereka adalah peserta lomba bertutur menggunakan Bahasa Inggris (story telling).




Diantara para siswa dan sejumlah guru, duduk empat orang warga Negara Amerika Serikat. Mereka adalah Angela Boey, Bart Thanhauser, Andrea Norris, Collen Young. Para bule itu menjadi juri dari lomba tersebut.
Keempatnya duduk tepekur menghadap sebuah panggung. Sejak pukul 08.00 dan istirahat sejenak saat pukul 12.00, kemudian dilanjutkan lagi hingga pukul 15.00.
“Sangat menyenangkan melihat mereka, lelah, tapi puas,” kata Angela Boey usai lomba.
Keempatnya bukan khusus didatangkan sebagai juri lomba. Karena, mereka sebenarnya sudah sejak Maret 2010 silam berada di Indonesia. Keempatnya mengajar di sejumlah sekolah di beberapa wilayah. Angela Boey mengajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Tlogo Blitar. Bart Thanhauser mengajar di MAN III Tulungangung, Andrea Norris di SMAN 1 Campurdarat Tulungangung, Collen Young mengajar di MAN Wlingi Blitar.
Mereka adalah para relawan Peace Corps, sebuah lembaga relawan asal Amerika Serikat, untuk mengajar bahasa Inggris di sekolah dan madrasah. Total ada empattiga relawan Peace Corps termasuk empat orang itu yang kini mengajar MAN dan SMA di berbagai wilayah di Jawa Timur.
Maret – Juni, mereka terlebih dahulu menjalani program metode mengajar sampai belajar bahasa Indonesia di wilayah Malang Raya. Setelah tiga bulan menjalani training, barulah para relawan itu disebar di sekolah dan madrasah.
Keempat bule itu mengaku, ini adalah pertamakali mereka datang di Indonesia. “Sebelumnya saya tidak tahu dimana Indonesia itu, bahkan awalnya saya pikir disini masih belum ada listrik. Ternyata Indonesia sudah lebih maju dari bayangan saya,” kata Collen.
Nenek berusia 63 tahun yang biasa dipanggil Oma ini saat mengajar di sekolah, ikut memakai jilbab sebagaimana guru-guru perempuan di MAN Wlingi, Blitar. “Sebenarnya saya kepanasan kalau memakai jilbab saat mengajar, tapi saya harus menghormati sebagaimana guru perempuan lainnya,” tutur Collen yang mengaku suka dengan jajanan Tahu Isi.
Dia lebih banyak menghabiskan waktu diluar jam mengajar dengan jalan-jalan. “Saya ingin kenal lebih dekat dengan budaya Indonesia,” tutur Collen.
Sementara itu, Angelina Boey yang keturunan Malaysia ini mengatakan, aktivitas yang dijalani sejak Juni 2010 sampai sekarang lebih banyak digunakan untuk mengajar. Dalam seminggu dia dan relawan Peace Corps lainnya menghabiskan 20 jam untuk mengajar di dalam kelas.
“Di luar jam pelajaran di kelas, terserah kreativitas masing-masing relawan,” tuturnya.
Angelina sendiri tiap Sabtu sore usai mengajar di sekolah, memilih untuk memberikan les bahasa Inggris bagi masyarakat di sekitar sekolah. “Ada 20 anak-anak yang ikut belajar, untuk mengajarnya saya meminta dibantu siswa MAN sekaligus menumbuhkan kepercayaan diri murid saya,” kata Angelina.
Ia mengaku lebih mengenal Islam saat di Indonesia. Semua informasi yang didapatnya tentang Islam terbantahkan ketika berada di Indonesia. “Dari berita di televisi di Negara saya, selalu digambarkan Islam yang keras dan suka perang. Seperti berita di Irak atau Afganistan. Tapi ternyata Islam itu damai, seperti di Indonesia,” kata Angelina.
Andrea Norris memilih aktivitas mengajar gambar diluar jam sekolah. “Saya mengajak murid saya untuk mengambar tembok lapangan tenis di sekolah dengan berbagai gambar sesuai keinginan mereka,” kata Andrea.
Ia dan rekan-rekannya berupaya menekankan kepada siswa tentang pentingnya belajar bahasa Inggris. “Mereka punya kemauan belajar yang bagus,” kata penyuka es buah ini.
Bart Thanhauser mungkin bisa dikatakan lebih ngampung (mengikuti tradisi masyarakat-red) selama tinggal bersama orang tua asuhnya di Tulungagung. Ia sering mengikuti pengajian yasin – tahlil dikampung tempatnya tinggal.
“Saya sering ikut pengajian atau tahlilan di kampung. Saya ingin mengenal budaya Islam Indonesia lebih dekat lagi,” katanya.
Menurut Bart, ada tiga tugas yang dilakukan para relawan Peace Corps selama 2 tahun di Indonesia. Pertama, mengajar bahasa Inggris untuk para siswa. Kedua, mengenalkan budaya di Negara asalnya kepada masyarakat Indonesia. Ketiga, mengenal budaya Indonesia dan disampaikan ke Negara asalnya. “Saya sering menyampaikan ke para siswa bahwa di Amerika juga banyak perbedaan. Kami semua juga menghormatinya,” tuturnya.
Perbedaan ini mulai dari yang paling dasar, bahwa tidak semua warga USA berkulit putih. Tapi ada juga berkulit hitam, keturunan Asia dan juga banyak agama yang dipeluk warga.
“Para siswa sebelumnya membayangkan bila warga Amerika berkulit putih dan semua memeluk nasrani. Begitu saya beritahu sebenarnya, mereka sekarang lebih mengerti tentang perbedaan yang juga ada di Amerika,” urai Bart.
Ia mengakui masyarakat di di Indonesia sangat cinta damai. Islam yang digambarkan di Indonesia sebagai ajaran cinta damai juga akan diceritakannya saat pulang ke Negara asalnya.  Saya ingin masyarakat Amerika tahu bahwa Islam itu ternyata lembut dan damai, seperti apa yang saya lihat di Indonesia,” ujar Bart.
Pada Juni 2012 nanti, ia dan seluruh rekan relawan Peace Corps harus kembali pulang. Selanjutnya, akan digantikan oleh relawan baru yang disebar di sekolah yang berbeda.
“Kami pulang dan diganti olah kawan-kawan kami yang baru. Saat pulang, kami akan menceritakan tentang Indonesia,” pungkas Bart.

Komentar