![]() |
Belajar aplikasi SMS Gateaway |
Pemandangan di ruang
pertemuan Balai Desa Kucur, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Jawa Timur,
belakangan ini seperti ruang meeting di perkantoran kota besar. Dalam ruangan
dengan dua baris meja kursi yang di-setting saling berhadapan itu beberapa
orang sibuk di depan komputer jinjing.
Rahmat Edi Santoso
serius menyimak dua pemateri. Matanya tak luput mengarah ke komputer jinjing
miliknya sembari jemarinya mengetik. Edi dan beberapa rekannya semenjak pagi
sampai sore hari itu tengah mengikuti pelatihan SMS Gateaway yang difasilitasi
oleh Infest, sebuah organisasi nirlaba dari Yogyakarta.
“Ini latihan dulu,
memahami dan mengenal aplikasinya. Target kami awal tahun depan SMS Gateaway
mulai dioperasionalkan oleh Pemerintah Desa Kucur,” kata Edi yang juga Kepala
Dusun Godean Desa Kucur ini.
SMS Gateway merupakan
teknologi mengirim, menerima dan mengolah SMS melalui sistem komputerisasi
(software). Aplikasi SMS yang bersifat dua arah ini dapat membantu Pemerintah
Desa (Pemdes) Kucur berinteraksi dengan warganya.
Melalui SMS Gateway
pula Pemdes bisa menyebarluaskan informasi pembangunan dan pelayanan publik ke
warga desa. Pemdes tinggal mendata seluruh nomor telepon seluler warga desa dan
memasukkannya dalam sistem.
Arus informasi pun
dapat terjalin dua arah, tak melulu didominasi oleh pemerintah saja. Warga desa
sekaligus nantinya juga bisa memanfaatkan aplikasi layanan pesan pendek ini
untuk melayangkan pengaduan dan kritik yang ditujukan ke Pemdes Kucur.
Tak semua informasi
nanti bakal disebar ke warga di seluruh pelosok desa, tergantung kategori
informasi itu sendiri. Jika kategori undangan rapat desa, SMS dikirim ke
seluruh ketua rukun tetangga (RT) hinggga Kepala Dusun. Bila itu informasi pembangunan,
maka seluruh warga di segala penjuru desa berhak mendapatkannya.
“Warga juga bisa
mengadu jika ada kebijakan desa yang kurang tepat melalui layanan SMS ini,”
ujar Edi.
Sebenarnya Pemdes Kucur
telah memiliki website www.desakucur.net. Laman ini dioperasionalkan sejak Juli
tahun ini. Isinya juga masih sederhana, lebih banyak memuat informasi berbagai
kegiatan desa. Melalui situs ini pula, berbagai program Pemdes disebarluaskan.
Karang Taruna di tiap
dusun yang sebelumnya telah diajari teknik jurnalisme warga, dapat mengisi
situs itu dengan berbagai program kegiatan mereka sendiri. Meski demikian,
keberadaan website ini dinilai masih kurang efektif. Sebab, tidak semua
masyarakat desa bisa mengakses internet.
“Kalau dengan SMS
Gateaway turut memudahkan berbagi informasi karena hampir semua warga pegang
telepon seluler,” ujar Edi yang juga pengelola website desa tersebut.
Inovasi berbasis
teknologi informasi yang digagas oleh Pemdes Kucur ini sebagai upaya menggenjot
partisipasi warga dalam pembangunan desa. Serta memperkuat pengawasan warga
terhadap desanya. Termasuk mendorong transparansi dalam setiap pelaksanaan
program desa serta akuntabilitasnya.
Desa Kucur terdiri dari
Dusun Sumberbendo, Turi, Krajan, Klaseman, Klampok, Godehan dan Ketohan. Desa
ini didiami oleh 5.764 jiwa atau 1.493 Kepala Keluarga (KK). Tahun 2015 ini
Desa Kucur mendapat Alokasi Dana Desa (ADD) sebesar Rp 473.230.000 dari APBD
Kabupaten Malang serta Rp 289.635.000 untuk Dana Desa yang bersumber dari APBN.
Kepala Desa Kucur,
Abdul Karim, ingat betul bagaimana kondisi pemerintahan desa saat ia kali
pertama menjabat Kepala Desa pada 2009 silam. Dalam seminggu dapat dihitung
dengan jari tingkat kehadiran pegawai Pemdes ke kantor desa. Selain itu nyaris
sebagian besar di antara mereka tak bisa mengoperasionalkan komputer yang
tersedia dengan baik.
“Sumber daya manusia
yang belum profesional itu tentu menyulitkan Pemdes untuk memberikan layanan
yang baik pada warga kami,” kata Karim.
Karim dan perangkatnya
segera membenahi SDM perangkat desanya. Caranya, kalau ada perguruan tinggi
menggelar pelatihan, perangkat desa dikirim mengikuti pelatihan itu. Baik belajar
komputer maupun pelatihan menyusun dokumen Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
(APBDes), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes) dan laporan
keuangan.
Pemdes Kucur memastikan
tak ada copy paste dalam menyusun APBDes, RPJMDes maupun laporan keuangan.
Sebab, warga terlibat aktif dalam menyusun dokumen tersebut melalui Forum
Masyarakat Desa. Forum ini dihadiri
seluruh elemen pemdes dan perwakilan warga. Ditambah lagi perangkat desa telah
memahami alur penyusunannya. Sehingga pembangunan desa lebih fokus dan
terencana setiap tahunnya. Serta ada partisipasi warga dalam mengawasi laporan
keuangan Dana Desa dan ADD.
“Warga mulai terlibat
aktif, turut serta menyumbang gagasan dan mengawasi pembangunan desa. Sistem
telah berjalan baik ini harus terus diperkuat,” ucap Karim.
Seluruh produk hukum
desa mulai dari peraturan desa, APBDes, RPJMDes hingga laporan keuangan saat
ini masih dalam proses digitalisasi. Proses ditarget rampung pada awal tahun
2016. Kemudian seluruhnya
bakal dimasukkan dalam website milik desa yang terus dikembangkan. Praktis,
semua warga baik yang berdiam di dalam desa maupun yang sedang bekerja di luar
negeri bisa mengakses informasi itu secara bebas.
“Semua warga nanti bisa
melihat atau mengunduh di website itu. Kalau sekarang masih cara konvensional.
Laporan keuangan ADD misalnya, sekarang masih dicetak di banner dan dipampang
di beberapa titik,” beber Karim.
Beragam inovasi yang
mulai berjalan itu adalah lanjutan dari upaya Pemdes mendorong profesionalisme
dan transparansi pemerintahan desa. Ini sejalan dengan amanat UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi
Publik (KIP).
Inovasi di bidang
teknologi ini mendukung upaya transparansi penggunaan anggaran. Bahwa tidak ada
penyelewengan dan peruntukannya tepat sasaran sesuai kebutuhan warga. Apalagi
semua program pembangunan sebelumnya telah disepakati bersama melalui Forum
Musyawarah Desa.
Pemdes Kucur juga
memiliki statistik kemiskinan warganya sendiri. Indikator kemiskinan dirumuskan
bersama dengan tim pembaharuan desa yang melibatkan unsur warga. Praktis, data
kemiskinan versi Pemdes berbanding terbalik dengan statistik kemiskinan versi Badan
Pusat Statistik (BPS).
Jika BPS memiliki 14
kriteria kemiskinan, Pemdes Kucur menetapkan delapan kriteria yang meliputi
kepemilikan aset, kondisi rumah, penghasilan, tingkat pendidikan, makanan,
kesehatan, pakaian dan daya penerangan tiap rumah.
“Kriteria kemiskinan
yang kami tetapkan berbeda dengan BPS. Data kami lebih akurat dan tepat
sasaran, dibanding hasil survei BPS yang dilakukan lima sampai enam tahun
sekali,” klaim Karim.
Pemdes juga memetakan
aset yang dimiliki desa, baik itu fisik seperti tanah kas desa, bangunan, dan
berbagai barang milik desa. Sumber daya manusia sebagai aset sosial dan sumber
daya alam seperti sumber air sebagai potensi desa dimasukkan sebagai aset desa
yang penting agar bisa dikelola dengan baik.
Badan Perwakilan Desa
(BPD) Kucur bakal memaksimalkan fungsi pengawasan yang dimiliknya terhadap
Pemdes. Caranya, akhir tahun ini juga bakal diselenggarakan Rapat Umum Desa.
Rapat ini melibatkan seluruh perangkat desa dan 27 orang kader pembaharuan
desa. Rapat ini menjadi sarana evaluasi tahunan atau laporan pertanggungjawaban
tahunan kinerja Pemdes kepada warganya.
Melalui Rapat Umum Desa
ini, BPD bakal mengevaluasi penggunaan anggaran desa, review RPJMDes dan
menyusun APBDes untuk tahun anggaran berikutnya. Hasilnya, bakal menjadi
masukan penting untuk penyusunan Musyawarah Perencanaan Pembangunan
(Musrenbang) Desa di awal tahun depan.
“Rapat Umum Desa ini
hajat BPD, ini sistem baru yang harus diterapkan oleh Pemdes sesuai dengan
amanat UU Desa,” kata Kepala BPD Kucur, Sangaji.
Apa yang dilakukan oleh
Pemdes Kucur itu merupakan sebuah upaya desa tidak lagi sebagai obyek, tapi
sebagai subyek. Desa memiliki otonomi berdasarkan kearifan lokal atau hukum
adat, menentukan susunan pemerintahan, mengatur dan mengurus rumah tangga, serta
memiliki kekayaan dan aset.
“Semangat itu
ditegaskan dalam UU Desa. Bahwa desa harus menjadi pelaku, bukan sekadar
objek,” ujar Sangaji.
Kabupaten Malang
terdiri dari 378 desa dan 12 kelurahan. Desa Kucur adalah salah satu dari
ratusan desa yang secara de facto berada di wilayah Kabupaten Malang. Apa yang
telah dilakukan oleh Pemdes Kucur itu belum tentu juga dilakukan di desa
lainnya. Itu semua tergantung dari inovasi dan kreativitas masing–masing
Pemdes.
“Tergantung sumber daya
manusia di tiap desa. Apa yang mereka lakukan itu adalah kewenangan mereka
sendiri,” ujar Kepala Bagian Tata Pemerintahan Desa Kabupaten Malang, Moch
Darwis.
Ionisnya keberadaan
ratusan desa itu belum ditetapkan melalui sebuah produk hukum oleh Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Malang. Baru pada tahun ini Pemkab Malang telah memiliki
Peraturan Daerah (Perda) tentang Penetapan Desa. Itu pun baru bisa
diimplementasikan pada tahun depan.
“Perda tentang
penetapan desa sudah digedok melalui paripurna legislatif di tahun ini, sekarang
tinggal menunggu pengesahan dari Pemprov Jawa Timur,” ujar Kepala Bagian Tata
Pemerintahan Desa Kabupaten Malang, Moch Darwis.
Pemkab Malang juga baru
pada tahun ini menggodok Perda tentang Desa sebagai payung hukum untuk
pencairan Dana Desa yang bersumber dari APBN. Baik Perda tentang Penetapan Desa
dan Perda tentang Desa merupakan turunan dari UU Desa.
Sebab, UU Desa tegas
mensyaratkan daerah harus memiliki regulasi tentang desa dan penetapan
keberadaannya secara hukumnya jika ingin Dana Desa yang bersumber dari APBN
diturunkan ke daerah.
Sedangkan untuk
pencairan ADD yang bersumber dari APBD, setiap tahun Pemkab Malang hanya menerbitkan
Peraturan Bupati Malang tentang ADD. Pengawasan yang dilakukan pemkab terhadap
desa pun hanya menitikberatkan pada administrasi semata. Tak ada pendampingan
dari Pemkab kepada Pemdes untuk penyusunan berbagai dokumen pemerintahan.
Apalagi pengawasan penggunaan anggaran.
Pemkab Malang hanya
sebatas mengecek syarat kelengkapan administrasi Pemdes meliputi Rencana Kerja
Pemerintahan Desa (RKPDes), RPJMDes, APBDes dan laporan penggunaan anggaran
saat Pemdes mengajukan pencairan ADD. Sedangkan praktik penggunaan anggaran,
minim pengawasan.
“Tugas di instansi saya
hanya lebih pada pengawasan administrasi apakah lengkap atau belum. Kalau tidak
bisa sampai monitoring ke lapangan karena terbatasnya tenaga,” ungkap Darwis.
Malang Corruption Watch
(MCW) menyoroti minimnya pengawasan yang dilakukan oleh Pemkab Malang terhadap
Pemdes dalam memanfaatkan ADD maupun Dana Desa. Dana yang digelontorkan
mencapai miliaran rupiah itu rawan diselewengkan dan disalahgunakan.
“Rawan terjadi
penyimpangan penggunaan dana desa dengan modus program fiktif. Harusnya ada
sistem pengawasan dari Pemkab yang lebih jelas, tidak hanya fokus pada
administrasi,” tutur Hayyik.
MCW telah membuka posko
pengaduan mengenai penggunaan ADD di tahun ini. Hasilnya, ada tiga pengaduan
yang masuk mengenai praktik laporan fiktif, tak sesuai peruntukan. Keterlibatan warga
dalam menyusun dan mengawasi anggaran sebagaimana layaknya di Desa Kucur pun
diapresiasi. Sebab, Meski belum semua desa dapat menjalankan sistem itu secara
utuh.
“Semua kelompok
masyarakat harus bersama–sama mengawasi penggunaan dana desa,” ucap Hayyik.
Komentar
Posting Komentar