Memerdekakan Informasi di Tanah Papua

Mahasiswa Papua berunjuk rasa di depan Istana Kepresidenan pada 28 Agustus 2019 (suara.com)


Ahmad bersandar di pikap sembari menghisap sebatang kretek. Asap putih mengepul keluar dari mulutnya. Di tangannya tampak noda tinta cap stempel bulat. Stempel itu jadi penanda, pria kelahiran Madura yang kini menetap di Jember itu sudah didata Pemprov Jawa Timur.

Ahmad merupakan satu dari 121 orang perantau dari berbagai daerah di Jawa Timur yang baru dipulangkan dari Papua. Rombongan itu tiba di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Malang pada Rabu, 2 Oktober 2019. Setelah pendataan selesai, mereka di antar ke daerah asal masing – masing.

Ahmad sendiri baru menjejakkan kaki di Wamena sekitar 3 September 2019. Setelah sebelumnya mendapat informasi dari kawannya jika situasi di sana aman. Di tanah rantau itu ia membeli sebuah motor untuk bekerja sebagai tukang ojek. Selama hidup di Papua, ia menyebut suasana di sana baik – baik saja.

Semua berubah pada 25 September 2019 saat terjadi gelombang unjuk rasa besar – besaran. Aksi ini berselang beberapa hari setelah beredar informasi isu perlakuan rasial seorang guru ke siswa di sebuah sekolah. Demonstrasi berubah rusuh. Sejumlah gedung rusak dan terbakar. Warga perantau harus menyelamatkan diri. Tidak sedikit di antara mereka ditolong dan bersembunyi di rumah warga Papua. Mereka kemudian dipulangkan ke daerah asal dengan bekal seadanya.

Praktis Ahmad tinggal di Papua hanya sebentar. Kurang lebih 20 hari jika dihitung dengan pecah kerusuhan Wamena. Ia berangkat ke Papua karena yakin situasi aman berdasarkan informasi temannya. Bisa jadi juga ia tidak bisa mendapat informasi secara komplit. Apalagi media massa tidak bisa menyampaikan fakta yang terjadi di Papua dengan utuh.


Warga dari berbagai daerah di Jawa Timur yang merantau di Papua dipulangkan pasca kerusuhan di Wamena.

Simpang Siur Informasi
Ahmad tak seorang diri yang mendapat informasi terbatas tentang kondisi Papua. Tidak menutup kemungkinan masyarakat Indonesia umumnya juga kurang mendapat asupan informasi melalui media massa misalnya, secara utuh dan obyektif. Bahkan warga Papua sendiri besar kemungkinan tidak puas dengan berbagai pemberitaan atau informasi yang sebenarnya tentang kondisi mereka di sana.

Kerusuhan di Wamena itu sendiri diduga salah satu penyebabnya dipicu simpang siur informasi. Rangkaian dari gejolak di Papua pasca persekusi dan perlakuan rasial yang dialami Aliansi Mahasiswa Papua saat berunjuk rasa di Surabaya dan Malang pada Agustus 2019.

Ada beberapa penyebab terbatasnya informasi tentang situasi di Papua. Tercatat sejak Agustus sampai September, pemerintah mengeluarkan kebijakan memperlambat sampai memadamkan akses internet di Papua. Ini menjadi ironi, di saat masyarakat butuh informasi malah ada pembatasan akses informasi.

Bila dirunut lebih panjang, konflik di tanah Papua sudah berlangsung sejak 1960-an silam. Selama itu pula informasi tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Papua sangat buram. Sulit benar mendapat informasi secara obyektif, berimbang dan independen perihal Papua. Selama ini informasi yang keluar melalui media arus utama hanya suara satu arah.

Sumber utama informasi itu tentu saja pihak otoritas pemerintah. Sebab, kerap ada intimidasi menimpa jurnalis bila mengabarkan di luar kepentingan otoritas. Jurnalis dari luar negeri pun tidak bisa dengan bebas keluar masuk ke sana. Sebab ada pengawasan ketat selama mereka berada di Papua.

Pemerintah pusat sudah mencabut larangan jurnalis asing masuk ke Papua pada 2015. Meski demikian, fakta di lapangan menunjukkan berbeda. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyebut mekanisme “clearing house” tetap diterapkan. Jurnalis asing mengikuti proses clearing house yang terdiri 18 unit kerja dari 12 kementerian berbeda.

Media arus utama boleh dianggap gagal, tidak mampu maupun kesulitan menyampaikan informasi dengan utuh. Maka beberapa pihak pun mencoba memanfaatkan media sosial seperti twitter maupun facebook untuk membantu menyebarluaskan informasi perkembangan di Papua. Sayangnya, upaya berbagi informasi itu ‘ditolak’ pemerintah.

Sejumlah institusi pemerintah sampai ramai – ramai menyematkan label hoaks pada berita yang ditayangkan Reuters. Kantor berita berbasis di London, Inggris, itu mengutip Suara Papua, media siber lokal yang memuat aparat menembak hingga tewas 6 warga Papua saat unjuk rasa. Labeling itu harus terbantahkan saat sejumlah media akhirnya juga mengabarkan jumlah korban jiwa tersebut.

Aktivis seperti Veronica Koman dan Dandhy D Laksono kerap berbagi informasi melalui akun sosial media masing – masing. Bagi saya, itu sebuah upaya untuk menyampaikan ke publik tentang kondisi di lapangan sebenarnya. Di luar informasi yang disampaikan versi pemerintah. Sayang, keduanya harus berhadap-hadapan dengan negara dan dianggap menghasut, menyebarluaskan informasi bohong. Berakhir dengan penetapan sebagai tersangka.

Anak - anak Papua mengenakan baju adat (dailymail.co.uk)

Hak Informasi 
Kebijakan memperlambat maupun memadamkan internet sendiri kontra produktif dengan upaya penyelesaian konflik. Padahal hak mendapat informasi juga dijamin sebagai hak asasi warga negara. Dijamin dalam konstitusi pasal 28F UUD 1945.

Pasal itu menjelaskan, setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Kebebasan pers di tanah Papua yang sangat terbatas turut andil gagalnya penyelesaian konflik yang berlarut. Sebab mereka yang ingin bersuara tidak mendapat kanal untuk menyalurkan aspirasinya. Kalau pun ada, ruang itu sangat terbatas. Konflik di Papua pun tak kunjung padam.

Di masa Gus Dur jadi presiden, pendekatan dialogis itu pernah ditempuh. Mengganti nama Irian menjadi Papua. Mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora dengan catatan masih ada bendera Merah Putih. Serta mengizinkan digelarnya Kongres Rakyat Papua. Bila pemerintah hari ini enggan meniru pola pendekatan itu, ada pendekatan lain yang bisa ambil.

Ada banyak seruan ke pemerintah agar menggunakan pendekatan dialogis. Lebih manusiawi untuk menyelesaikan masalah yang berlarut – larut tersebut. Bukan sekedar pendekatan politik seperti menawarkan hak otonomi khusus. Atau pendekatan represi dengan malah menambah jumlah personel militer untuk memadamkan konflik.

Salah satu pendekatan dialogis itu bisa dimulai dengan sangat sederhana. Bukan dengan mengundang orang – orang yang dianggap mewakili Papua. Bukan pula membangun jalan trans Papua. Tapi membuka akses informasi selebar – lebarnya tentang Papua. Untuk mendengarkan suara – suara mereka yang selama ini tidak pernah didengar.

Pers jadi medium bagi kedua belah pihak yakni pemerintah dan publik Papua, adu gagasan, saling kritik secara berimbang. Media juga diberi kebebasan menyampaikan gambaran sesungguhnya tentang Papua tanpa khawatir ada intimidasi. Sekaligus mendidik publik lebih tahu tentang apa yang sesunguhnya terjadi di Papua.

Pers punya peran memenuhi hak masyarakat untuk tahu atau mendapat informasi. Punya peran menegakkan nilai demokrasi maupun hak asasi manusia. Sesuai Pasal 6 UU nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Sayangnya, pers kurang mendapat atau boleh disebut 'tidak diberi' peran penyebar informasi yang mencerdaskan. Sayangnya, dialog melalui pers yang bebas, profesional dan independen itu belum atau tidak dimaksimalkan.

Kalau akses informasi masih dibatasi, tafsir masih satu versi, Saya pun ragu pemerintah serius menyelesaikan konflik Papua dengan baik. Soal referendum atau tidak, saya tidak punya kemampuan untuk berbicara tentang itu. Saya mendukung pemenuhan hak informasi di tanah Papua. Sehingga Papua bisa merdeka secara informasi.

Komentar

Posting Komentar