Kertasnya memang sudah terlihat
usang berwarna kecokelatan. Tetapi, aksara jawa kuno di naskah klasik itu masih
cukup jelas bisa dibaca. Siapapun yang memiliki kemampuan membaca aksara jawa
tentu bisa memahami isi naskah itu. Isinya menceritakan tentang sejarah
runtuhnya Kerajaan Majapahit dan berdirinya Kerajaan Demak. Naskah itu
diterbitkan pada tahun 1831 masehi.
“Ini adalah salah satu naskah
berusia tua yang kami miliki. Masih ada beberapa dokumen kuno yang tersimpan di
tempat kami,” kata Joko Lelono, editor Yayasan Sastra Lestari Surakarta, Rabu
16 September lalu.
Yayasan Sastra Lestari adalah
pemilik sekaligus perawat naskah kuno tersebut. Yayasan nirlaba ini memiliki
lebih dari seribu naskah kuno dengan ribuan judul. Sebagian besar berasal dari
Jawa Tengah dan sekitarnya. Naskah tertua terbitan tahun 1810 masehi tentang
cerita Damarwulan, sang penakluk Minakjingga di Blambangan. Naskah termuda
adalah sebuah majalah kuno terbitan tahun 1942 dengan tulisan jawa.
Yayasan berburu naskah itu ke
segala penjuru Jawa Tengah dan sekitarnya. Ada juga kolektor dengan sukarela
menyumbangkan naskah miliknya ke yayasan. Namun tak sedikit pula dokumen
penting berisi sejarah peradaban masa lalu itu ditemukan teronggok di pasar
loak (pasar buku bekas) di Alun – alun utara Solo. Ironis, dokumen klasik itu
diperlakukan layaknya buku bekas tak berarti.
“Sering kami menemukan naskah
kuno di antara tumpukan buku bekas yang dijual di pasar loak di depan kraton
Solo. Naskah kami simpan dan tidak untuk dijual, kami bukan lembaga komersil,”
tutur Joko.
Berbagai naskah klasik itu tentu
tak boleh dengan mudah dibaca oleh siapapun. Sebab, lembaran naskah itu bisa
hancur jika diizinkan dibaca oleh siapapun secara bebas. Untuk memelihara
naskah asli yang telah rapuh, diperlukan ruangan khusus dengan alat khusus
dalam membuka lembar demi lembar naskah tersebut. Tetapi peminat naskah klasik
tak perlu kawatir. Sebab ada duplikat naskah berupa foto copian yang boleh dibaca
secara bebas. Bahkan jika ingin digandakan pun tak masalah sepanjang itu naskah
duplikat.
Kekawatiran akan hancurnya
dokumen klasik itu tentu beralasan. Dari manuskrip yang masih bisa diselamatkan
itulah bisa dibaca peradaban masa lalu. Salah satu upaya menyelamatkan yang
dilakukan oleh Yayasan Sastra adalah program digitalisasi dan alih aksara. Manuskrip
itu kemudian diunggah ke dalam website milik mereka. Di website itu siapapun
bisa mengunduh secara gratis.
“Ada lima tahapan yang dilalui
sebelum naskah diunggah ke dalam website. Mulai dari pengkodean, kemudian
dibaca dan diketik ulang, hasilnya masih dibaca lagi untuk penyelarasan bahasa,
selanjutnya dicetak dan diedit dan setelah dinilai rampung baru diupload ke
website kami,” kata Dian Lestari, seorang penerjamah bahasa Yayasan Sastra.
Yayasan Sastra Lestari Surakarta
didirikan oleh Jhon Paterson, seorang berkebangsaan Australia sejak pertengahan
tahun 1990-an. Jhon awalnya adalah seorang kolektor manuskrip kuno terutama
yang berasal dari Jawa Tengah. Sebagian naskah itu ada yang masih tersimpan di
rumahnya di Australia. Tetapi sebagian besar telah dibawa kembali ke Indonesia
dan didokumentasikan melalui yayasan yang didirikannya itu.
Seluruh pendanaan untuk program
digitalisasi itu murni didanai oleh Jhon seorang. Apa yang dilakukan oleh
Yayasan Lestari ini tentu banyak juga dikerjakan oleh lembaga pemerhati
kebudayaan lainnya. Ini seolah menunjukkan minimnya perhatian pemerintah untuk
mengkaji dan meneliti secara lebih dalam berbagai dokumen penting nusantara
masa lalu.
Kepala Perpustakaan Proklamator
Indonesia, Soeyatno, menyebut lebih dari 26 ribu naskah jawa klasik tersebar di
luar negeri seperti di Inggris dan Belanda. Hal ini menunjukkan jika pemerintah
Indonesia tidak memiliki political-will
yang besar dalam memperjuangkan naskah jawa klasik warisan budaya Indonesia.
“Perpustakaan nasional sampai
saat ini baru memiliki koleksi kurang lebih 10.800 naskah jawa klasik. Sebagian
besar naskah dari pulau Jawa tentang sejarah atau babat jawa. Tapi masih ada
ribuan naskah yang tersebar di luar negeri,” kata Soeyatno.
Naskah disebut klasik lantaran ditulis
tangan dengan menggunakan berbagai media tulis seperti lontar, kertas, tulang,
bambu, bahkan emas. Naskah tersebut umumnya berisi tembang macapat, kisah
sejarah, ilmu pengetahuan, kebudayaan bahkan pendidikan. Karena itu, merawat
naskah ini sama dengan menjaga warisan budaya nusantara. Mempelajarinya berarti
memahami peradaban masa lalu yang bisa menjadi pondasi untuk membangun bangsa
ke depan.
bagus sekali kak makasih
BalasHapusresep donat jagung