Secuil Mutiara di Lokalisasi

    Jarum jam menunjukkan pukul 16.00. Sore itu, sejumlah perempuan beriringan keluar dari sudut kampung Dupak Bangunsari, Surabaya. Di antara lalu lalang warga sekitar, mereka berjalan menuju sebuah balai Rukun Warga.








    Sebagian besar perempuan itu sudah paruh baya. Dengan mengenakan baju muslim, mereka menuju ke balai RW. Setelah mengisi absensi, satu persatu duduk di kursi plastik warna hijau yang disediakan. Seorang pria dengan baju koko dan memakai songkok sudah hadir terlebih dahulu duduk di kursi paling depan. Pria itu adalah ustadz Khoiron, pemimpin jamaah pengajian. Lantunan ayat suci al-qur’an menandai dimulainya pengajian. Selanjutnya, ceramah agama oleh sang ustadz dengan tema patuh pada orang tua. Usai ceramah dan ditutup dengan doa, para perempuan itu kembali menuju kediaman masing – masing.

    Hal seperti itu mungkin sudah umum bagi kelompok jamaan pengajian di sudut kampung manapun. Tapi satu yang istimewa adalah, anggota pengajian rutin setiap Jumat sore itu adalah para pekerja seks komersial (PSK). Mereka adalah para pekerja di kompleks lokalisasi Dupak Bangunsari, Surabaya. Berangkat dan pulang dari pengajian dari wisma masing – masing.

    Usia pengajian itu sudah cukup lama, sekitar tiga puluh tahun silam. Selalu diadakan setiap jum’at sore di kantor balai RW itu. Bahkan, saat bulan suci ramadhan digelar pengajian akbar. Mereka (para PSK-red) juga berbaur dengan warga sekitar kala pengajian ramadhan digelar.

    Ustadz Khoiron, mengatakan, ia tidak sendirian dalam memberi pendampingan para PSK itu. “Ini juga bersama seluruh pimpinan mulai dari kecamatan, kelurahan hingga ketua rukun warga. Kami menyediakan ruangan di balai rukun warga untuk tempat pengajian,” kata Ustadz Khoiron.

    Dari tahun ke tahun, sambung dia, cukup banyak perubahan berarti yang terjadi di kompleks lokalisasi tersebut. Ada mucikari yang memilih untuk menutup sendiri wiswa itu. Ada juga para PSK berhenti dari pekerjaannya tersebut untuk hidup seperti semula di daerah asalnya.
   
    Hal itu juga diakui sebut saja bu Siti, salah seorang warga Dupak Bangunsari. Perempuan paruh baya itu sebelumnya adalah seorang mucikari. Anak buahnya ada lebih dari 20 orang kala itu. Ia lebih dari 15 tahun bergulat dengan bisnis esek-esek tersebut. Namun, sejak akhir 1990-an, Siti memilih untuk menutup dan menjual wismanya.

    “Wisma saya jual, uang hasil menjual rumah itu saya sedekahkan. Saya benar-benar memulai dari awal,” kata Siti yang kini membuka usaha salon di sekitar lokalisasi.
   
    Di salon itu ia memiliki setidaknya lima orang pekerja. Seluruhnya adalah bekas PSK yang berhenti total dan memilih bekerja di salon. Dari hasil usaha barunya itu Siti pernah berangkat umroh. Bahkan, ia pernah mendapat rezeki dengan diajak tetangganya untuk pergi haji. “Saya hanya berdoa, sholat dhuha dan tahajud. Alhamdulillah allah mengabulkan doa, dan semoga semua dosa saya diampuni,” tutur Siti.

    Cerita di atas adalah sebuah penelitian kecil yang saya lakukan pada 2006. Beberapa tahun sebelum salah satu lokalisasi di Surabaya itu ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya. Sekedar diketahui, lokalisasi Dupak Bangunsari, Surabaya, adalah salah satu lokalisasi yang tertua. Berdiri sejak 1965 dan terus berkembang. Jumlah penghuninya bahkan pernah mencapai 3.500 orang yang tersebar di puluhan wisma.
   
    Sebelum 2010 silam di lokalisasi Dupak Bangunsari masih berdiri 62 wisma dengan 51 muncikari dan 213 pekerja seks komersial. Dua tahun terakhir, sudah empat wisma yang ditutup dan 64 PSK dipulangkan. Terakhir, lokalisasi ini resmi ditutup oleh Pemerintah Kota Surabaya pada akhir 2012 silam. Terdapat 58 wisma yang ditutup, 163 PSK dipulangkan dan 50 muncikari diberi pesangon untuk beralih profesi.


Komentar