Mereka Pun Tak Peduli Meski Longsor Mengintai

LAHAN bantaran DAS Sungai Brantas di Kota Malang, hampir tak lagi menyisahkan ruang kosong.  Sejengkal tanah, sepertinya menjadi barang berharga dimanfaatkan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan primer (papan).
Masyarakat yang meghuni rumah di lahan DAS Kali Brantas di Kota Malang, kini semakin tegang. Tidak hanya penertiban yang bisa terjadi kapan pun, tanpa mendapatkan ganti rugi, kini juga dibayang-bayangi akan ancaman keselamatan jiwa mereka.

Ya, dampak cuaca ekstrem dalam setahun terakhir, ketenangan hidup masyarakat di bantaran sungai mulai terusik, setelah sekian puluh tahun hidup dalam ‘kedamaian’. Karena tinggi intensitas hujan, telah meluapkan   aliran sungai,  bahkan mulai menggerus lahan sempang (tanggul) sungai yang di atasnya disesaki bangunan rumah penduduk itu.
Dus, longsor lahan sempadan pun sudah sudah sering terjadi, namun mereka tetap bertahan karena merasa sudah menjadi bagian resiko dalam kehidupannya, termasuk penggusuran yang jugasewaktu-waktu dilakukan Pemkot Malang.
Rohimah (52) warga Jalan Kepuh Utara no 50 RT 6/RW 4 Kel. Bandungrejosari, Kec. Sukun, adalah satu satu pemilik rumah di sempadan sungai. Dia mengaku sudah 15 tahun menhuni rumahnya, setelah membeli dari seorang warga di sana. “Memang belum bersertifikat, namun kami punya akta jual beli,” ujarnya, seraya menunjukkan akta jual beli atas rumahnya yang berdiri di lahan bantaran sungai.
Rohimah pun merasa sebagai pemilik sah dari lahan yang ditempatinya itu. Dalam akta jual beli disebutkan 10 orang pemilik sah secara turun-temurun hingga tanah dan rumah sekarang ditempati Rohimah. “Orang dulu kan cukup memiliki akta jual beli tanah itu sebagai bukti kepemilikan lahan,” tandasnya.
Rumahang seorang janda ini membelakangi Kali Metro yang merupakan DAS Brantas. Sekitar tahun 1987, jarak rumah dengan bibir sungai sekitar 4 meter. Namun sejak awal tahun 2000 jarak bibir sungai dengan belakang rumah kini hanya sekitar 2 meter saja. Penyebabnya, hujan deras yang mengakibatkan sungai meluap, membuat dinding sungai terus tergerus air.
Hal ini tentu saja membuat pemilik rumah was-was saat hujan deras datang. Ancaman sungai meluap dan banjir hingga bahaya longsor selalu mengintai. “Saya selalu kawatir saat hujan deras, anak saya yang bekerja pun sering menelpon ke rumah untuk mengetahui kondisi rumah,” tuturnya.
Sungai Metro yang berada di dekat rumah Rohimah sendiri lebarnya sekitar 5 meter dengan ke dalaman sekitar 6 meter. Saat normal air hanya setinggi 1 meter saja, namun saat banjir ketinggian air bisa mencapai 5 meter.
Menurut Rohimah, beberapa tahun silam seorang kerabatnya yang domisilinya berdekatan dengannya mengalami bencana akibat luapan air ini. Bagian dapur rumah kerabatnya, ambrol setelah dinding tergerus air. Setelah peristiwa itu, dinding sungai yang persis di belakang rumah kerabatnya itu di plengseng dengan biaya sendiri.
“Warga disini yang ingin rumahnya aman-aman saja ya harus mengeluarkan biaya sendiri untuk memlengseng dinding sungai yang persis di belakang rumah mereka. Kami sendiri berharap ada upaya pembangunan plengseng di dinding sungai oleh pemerintah,” ujarnya.
Kota Malang sendiri dibelah oleh DAS Brantas yang ada beberapa nama sungainya. Yakni sungai Brantas, sungai Metro, sungai Amprong, sungai Bangau yang membelah jantung Kota Malang. Banyak masyarakat yang memiliki rumah persis di sepadan sungai atau di bantaran sungai. Ini tentunya perlu ditertibkan, dengan langkah solutif. Tidak hanya untuk keselamatan jiwa mereka atas ancaman longsor, juga demi kelangsungan ekosistem DAS Brantas.
Ketua Komisi A DPRD Kota Malang, Arif Wahyudi mengatakan, seharusnya Pemkot Malang melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Yakni tentang kewenangan penataan sepadan sungai Brantas, sungai Metro, sungai Camprong yang ada di Kota Malang.
“Sebenarnya banyak bangunan di sekitar sepadan sungai yang tak memiliki IMB dari Kota Malang. Namun mereka punya izin dari Pemprov Jatim, maka pihak eksekutif  pun tak bisa berbuat apa-apa selain menindaklanjutinya,” urai Arief.
Dia memberi contoh, pendirian Apartemen Menara Soekarno-Hatta yang mengantongi izin prinsip dari Pemprov Jatim. Maka mau tak mau Pemkot harus menindaklanjuti proses perizinan lanjutan karena sudah ada izin dari Pemprov. Selain itu banyak warga yang mendirikan bangunan permanen di sepadan sungai yang seizin Pemprov selaku pemilik lahan.
Dengan ada koordinasi antara Pemkot dan Pemprov yang tertuang dalam MoU tentang sepadan sungai, persoalan ini bisa teratasi. Bisa jadi hal ini ditindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah (perda) tentang larangan pendirian banguan yang memiliki jarak 15 meter dari sepadan sungai.
“Kalau ada MoU, tindaklanjutnya bisa jadi dalam bentuk perda yang melarang pendirian bangunan di sepadan sungai.Meski yang memiliki lahan adalah Pemrov, pihak Kota Malang sendiri yang memahami peta persoalan di kawasan sepadan sungai,” tukas Arief.
Sementara itu, Sekretaris Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Malang, Untung Suropati mengatakan, seharusnya jarak rumah warga dari bibir sungai adalah 15 meter. Namun untuk penertiban tidak mungkin dilakukan karena menjadi wewenang sepenuhnya dari Pemrov Jatim.
“Kami hanya bisa menghimbau agar warga tidak membangun rumah dengan jarak yang dekat dengan bibir sungai. Apalagi potensi longsor dan persoalan sampah cukup besar,” ujar Untung.
Hal senada dikatakan Kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Malang, Wasto. Menurutnya, penataan sepadan sungai itu menjadi kewenangan propinsi. Memang selama ini banyak probem yang muncul, misalnya masyarakat membuang sampah secara sembarangan di sungai.
“Salah satunya di sungai Muharto yang termasuk kawasan sungai Brantas. Mereka seenaknya sendiri membuang sampah disitu, ini memang menjadi persoalan tersendiri,” tuturnya.
Salah satu yang bisa dilakukan oleh DKP untuk meminimalisir persoalan sampah di sekitar sepadan sungai, dibuat rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pengelolaan sampah. Dalam raperda ini juga memuat sanksi sebesar Rp 500 ribu bagi setiap orang yang kedapatan membuang sampah di sungai. Yakni melalui operasi yustisi yang digelar bersama Satpol PP untuk menjerat orang yang kedapatan membuang sampah sembarangan.
“Setidaknya ini yang bisa kami lakukan, mungkin nantinya kami bisa membuat upaya penertiban sepadan sungai,” pungkas Wasto.

Komentar