Suhu Udara Berubah, Lahan Apel Ikut Bergeser

Perubahan suhu udara sebagai dampak dari global Warming (pemanasan global) cukup terasa di Kota Batu. Bila pada dekade 1980an suhu udara di kota apel ini masih sekitar 26'C, kini berubah menjadi 30'C. Salah satu dampaknya, terjadi pergeseran lahan perkebunan apel. Selain itu juga peralihfungsian lahan apel menjadi lahan sayuran.

Subari (45) dengan cekatan memilih buah apel untuk dimasukkan kedalam keranjang. Berdasarkan ukuran besar dan kecil, apel itu dimasukkan ketempat yang berbeda sesuai ukurannya. Beberapa keranjang yang tergeletak dirumahnya terlihat penuh dengan buah apel berbagai jenis, mulai apel ana, rome beauty hingga manalagi.
Keranjang tersebut, lantas dimasukkan kedalam sebuah mobil pick up yang parkir didepan rumahnya. Tidak berselang lama, mobil pick up itu pergi menuju sebuah tempat seorang pengepul buah apel dari tangan petani.
Subari yang warga Dusun Gintung Desa Bulukerto Kecamatan Bumiaji ini hanya memiliki lahan seluas 500 meter persegi. Lahan itu dahulu ditanami pohon apel seluruhnya, namun kini harus berbagi dengan tanaman sayur juga.
“Harga apel yang sering naik turun membuat saya sering merugi, maka saya  siasati dengan sebagian digunakan untuk menanam sayur,” tutur Subari.


Subari mulai menanam sayur sejak awal tahun 2002 silam, yakni saat harga apel mulai merosot turun. Sementara biaya produksinya tidak sebanding dengan hasil panen yang didapatkan.
Dari lahan seluas 500 meter, Subari sebenarnya bisa mendapatkan setidaknya lebih dari 5 ton apel. Namun tidak semuanya bisa dijual, kualitas apel yang memburuk, terkadang hanya ada 3 ton sampai 4 ton saja yang bisa dijual.
Dengan menanam sayur diseparuh lahannya, setidaknya mampu menambah penghasilan Subari. Sayangnya, dia enggan menyebutkan berapa penghasilan dari sayur ini. “Lumayanlah buat tambahan, kalau apel sudah mulai membaik mungkin saya akan menanam apel lagi,” tuturnya.
Dia menambahkan, sudah hampir 8 tahun ini para petani selalu merugi akibat harga apel yang terus merosot. Akibat harga apel yang melemah saat itu, membuat banyak petani apel yang telah mencabut pohon apelnya menjadi tanaman sayur.
“Kini cukup banyak para petani yang mengganti lahannya dari sebelumnya petani apel menjadi petani sayur,” kata Subari.
Nasib sedikit beruntung dialami oleh Wito Argo, warga Desa Tulungrejo Kecamatan Bumiaji. Petani yang memiliki lahan seluas 2 hektar ini masih konsisten untuk menanam apel. Penyebabnya, desanya berada di ketinggian 1.100 diatas permukaan laut (dpl), sehingga secara kualitas apel tetap terjaga.
“Saat ini memang banyak terjadi pergeseran lahan, dulu di daerah yang tingginya hanya 700 dpl bisa menghasilkan apel yang baik. Sekarang harus berada di kawasan yang lebih tinggi lagi,” jelas Wito.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kualitas apel di kawasan rendah kini kualitasnya kurang bagus. Yakni, suhu udara yang mulai hangat di Kota Batu akibat pembalakan hutan secara liar. Pada 1997 silam, suhu udara di Kota Batu masih berkisar 16’C saat malam hari dan 26’C saat siang hari. Namun kini diperkirakan berubah menjadi 20’C saat malam dan 30’C siang harinya.
Selain faktor usia pohon dan tanah, suhu udara sendiri mempunyai peran penting bagi pohon apel. Semakin dingin suhu udara, kualitas buah yang dihasilkan juga semakin bagus. Namun bila suhu udara mulai hangat, kualitas apel juga terpengaruh.
Hal inilah yang membuat lahan perkebunan apel di Kota Batu dari tahun ke tahun terus mengalami pergeseran. Petani apel cenderung membuka lahan perkebunan apel semakin ke arah atas atau semakin naik ketinggiannya, jelas Wito.
“Petani akhirnya membuka lahan perkebunan baru di daerah bagian atas, khususnya di Desa Sumber Brantas atau Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji. Selain relatif masih subur, suhu dan kelembaban udaranya masih memenuhi kebutuhan tanaman,” kata Wito yang mengaku lahan apel seluas 2 hektar miliknya itu mampu menghasilkan 40 ton daru dua kali masa panen.
Berdasarkan keterangan petani setempat, kecenderungan perkebunan apel bergeser ke wilayah bagian atas. Pertanian apel berkembang dengan baik di desa Tulungrejo yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan Desa Punten, Desa Sidomulyo dan Desa Bumiaji. Suhu udara di daerah ini lebih dingin daripada desa-desa di bawahnya. Bahkan hampir tiap sore daerah ini masih diselimuti kabut.
“Di Dusun Junggo Desa Tulungrejo, kualitas apel ini masih cukup baik. Tidak kalah dengan apel produksi Nongkojajar Pasuruan, atau Poncokusumo Kabupaten Malang,” jelas Wito.
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Kehutanan setempat, lahan apel di Kota Batu mengalami penurunan hingga 30 persen dibanding saat masa jaya-jayanya apel Batu di era 1980-an.
Pada masa tersebut, luas lahan perkebunan apel di wilayah Batu mencapai kurang lebih 900-an hektar. Luas lahan itu tersebar diberbagai wilayah, baik di Desa yang berada di wilayah rendah atau tinggi. Namun kini luas seluruh pohon apel hanya tinggal sekitar kurang lebih 600 hektar.  Dalam perkembangannya, perkebunan apel kini sebagian besar dibuka di daerah atas, khususnya di Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji.
Kepala Kantor Lingkungan Hidup (KLH) setempat, Bambang Parianom mengatakan, pembalakan liar menjadi penyebab utama bergesernya lahan perkebunan apel milik warga ini. Karena, akibat banyak pohon yang ditebang, membuat suhu udara semakin panas.
“Memang dikatakan banyak orang akibat global warming, tapi penebangan hutan semakin memperparah perubahan suhu udaranya ini,” jelas Bambang.
Dia membenarkan bila banyak perkebunan apel yang berada dikawasan ketinggian 1.100 dpl mampu menghasilkan apel yang lebih bagus. Terutama di Desa Tulungrejo dan Desa Sumber Brantas Kecamatan Bumiaji.

Komentar