Sembahyang umat Tionghoa di Kelenteng Eng An Kiong |
Aroma harum menyeruak
dari kepulan asap dupa yang dibakar di Kelenteng Eng An Kiong di Kota Malang. Ratusan
orang dengan khidmat berdoa di kelenteng pada Selasa 2 Februari lalu. Mereka
tengah menggelar ibadah Shung Sen, atau
mengantar Fuk Tek Cieng sang Dewa
Bumi ke langit enam hari sebelum Imlek dalam keyakinan mereka.
“Ini bukan mitos, dalam
keyakinan kami dewa dan dewi itu benar – benar,” kata Rohaniawan Kelenteng Eng
An Kiong, Bonsu Anton Triyono.
Nanti, empat hari
setelah perayaan Imlek masih ada lagi ritual Cik Sen atau menjemput Dewa Bumi turun dari langit. Tujuannya, agar
Sang Dewa merestui apa yang akan dilakukan umat manusia selama setahun ke
depan. Belasan tahun terakhir ini umat Tionghoa bisa menjalankan ibadah mereka
secara bebas tanpa perlu bersembunyi.
Sebelumnya, hampir 33
tahun warga Tionghoa tak bisa merayakan kebudayaannya di depan umum. Persisnya,
sejak masa Orde Baru dipimpin Presiden Suharto menerbitkan Inpres Nomor 14
Tahun 1967 yang melarang pementasan kebudayaan Tionghoa.
Kebebasan kembali
diperoleh penganut Konghucu ini setelah era reformasi. Presiden Abdurrahman
Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres itu dan menggantinya dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2000. Mulai saat itu, mereka dengan
leluasa dapat menjalankan agama, kepercayaan, dan adat istiadat China.
Hal ini dipertegas
kembali dengan keputusan Menteri Agama yang mengeluarkan Keputusan Nomor 13
Tahun 2001 tentang Penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional
Fakultatif. Pada Februari 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri mengumumkan
mulai 2003, Imlek menjadi Hari Libur Nasional.
“Kita jangan lupa bahwa
Imlek ini kan dulu kan dilarang. Ini adalah perjuangan Gus Dur, tanpa Gus Dur
nggak mungkin ada pesta semacam ini,” kata pendiri Museum Rekor Indonesia, Jaya
Suprana dalam sebuah kesempatan di awal Oktober 2015.
Benar bahwa perayaan imlek
selalu membuka memori di otak bahwa bangsa ini pernah melahirkan seorang
pemimpin yang egaliter, pelindung kelompok minoritas, bapak pluralisme yang tak
membedakan golongan, Gus Dur. Bagi umat Tionghoa di Indonesia, sosok Gus Dur laksana
tokoh dari masa Dinasti Ming, Ceng Ho.
“Saya kira bagi orang
Tionghoa, Gus Dur itu kayak Cheng Ho, kayak dewa dah. Waktu orang lagi
ribut-ribut, nggak suka Tionghoa, cuma dia (Gus Dur) presiden yang ngaku kalau
dirinya keturunan Tionghoa. Orang-orang langsung diem,” kata Gubernur DKI
Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok saat peresmian Patung Gus Dur Masa
Kecil di Taman Amir Hamzah, Pegangsaan, Menteng, Jakarta Pusat, April 2015
silam.
Gus Gur sendiri selalu
menekankan pentingnya bersikap adil terhadap sesama. Dalam konteks kelompok
mayoritas dan minoritas, tak sepatutnya ada dominasi mayoritas terhadap
minoritas. Bersikap moderat dan toleran adalah juga wujud dari keyakinan
terhadap tuhan.
Allah ada dimana –
mana, termasuk juga berada dalam wajah kelompok minoritas. Bersikap adil
terhadap sesama, adalah penerapan atas tauhid bagi seorang muslim, pengakuan terhadap
segala ciptaan Allah.
Dan di setiap momen
imlek ini pula, sosok Gus Dus selalu menyeruak dalam ingatan saya. Entah kapan
lagi bangsa ini akah melahirkan figur yang berani dan tegas dalam melindungi
kelompok minoritas. Menerima siapapun itu tak peduli latar belakangnya yang
datang mengadu.
“Semoga dewa kami
memberi keselamatan yang abadi dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia di
bumi ini,” tutup Bonsu Anton Triyono usai memimpin ibadah di Kelenteng Eng An
Kiong.
ijin share yah kak
BalasHapusisolated soy protein