Kerajinan Kayu Rejoso yang Terus Eksis

Kerajinan Kayu Rejoso Junrejo

Badai krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998. Saat itu seluruh sektor industri tiarap akibat krisis ekonomi yang juga terjadi dalam skala global. Hal ini juga dialami oleh UD Arjasa yang berada di jalan Trunojoyo No 25, Junrejo, Kota Wisata Batu. Salah satu produsen kerajinan kayu di kota wisata Batu ini juga mengalami berbagai terpaan. Nyaris bangkrut hingga mampu kembali berjalan seperti sediakala hanya dalam tempo yang relatif singkat.

Beberapa lelaki terlihat sibuk memasukkan kayu gelondongan kedalam sebuah mesin gergaji. Memotongnya menjadi papan pipih yang cukup lebar. Disudut yang lain, tampak beberapa lelaki mengambar papan pipih itu, sementara beberapa orang wanita asyik mengukir dan menggosok sebuah kayu yang sudah berbentuk. Disudut yang lain, beberapa orang lainnya menyemprot ukiran kayu yang sudah berbentuk itu dengan pewarna. Begitu selesai diwarna, segera kerajinan itu diperhalus dan diberi berbagai warna oleh rekannya.


UD Arjasa yang berada di jalan Trunojoyo No 25, Junrejo, Kota Wisata Batu, merupakan salah satu produsen kerajinan kayu di Kota Batu. Usaha ini sudah berdiri sejak akhir 1980-an yang dirintis oleh Sukardi Ramelan. Kini usaha kerajinan kayu ini dipegang oleh putra dari Sukardi, yakni Fransisko.
Pada dekade 1990-an, berbagai produk kerajinan UD Arjasa dikirim ke berbagai negara. Mulai dari Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan dan berbagai negara lainnya. Memang tidak langsung dijual ke luar negeri, melainkan melalui show room milik rekanannya yang ada di berbagai kota misalnya di Bali, Bandung, Surabaya.

Saat Batu masih menjadi bagian dari Kabupaten Malang tempat kerajinanya masuk dalam salah satu peta wisata Kab Malang. Sehingga laju usahanya cukup berkembang. Bahkan usahanya mencapai puncak pada 1997 saat mendapat juara 1 kelompok usaha kecil se-Jawa Timur. “Luar biasa perkembangan sektor UKM saat itu,” kenang Frans.
Pasang surut dialami oleh Frans dan ayahnya saat menjalankan usaha berbagai kerajinan berbagai produk kayu ini. Perkembangan usaha ini mengalami terpaan hebat saat badai krisis moneter menghantam Indonesia pada 1998. Saat itu, usaha milik Frans nyaris bangkrut total akibat banyaknya pesanan yang gagal bayar.
“Banyak pesanan yang saat itu tidak diambil oleh pemesan akibat inflasi hebat pada 1998, banyak pesanan yang tidak terbayar,” tutur Frans.
Namun itu hanya sesaat, karena para buyer yang kemudian berbondong-bondong mengambil barang dari Indonesia. Pasalnya, harga beli produk kerajinan Indonesia dibeli dengan rupiah yang kurs nya dengan dollar AS saat itu turun. Sementara dijual kembali oleh buyer luar negeri dengan dengan kurs dollar AS.
Saat ini, permintaan kerajinan kayu ke Amerika Serikat misalnya, tidak setajam seperti beberapa tahun lalu. Namun untuk Korsel dan Jepang tidak mengalami penurunan. Pasalnya, barang kerajinan yang termasuk barang sekunder ini masih tinggi permintaannya di wilayah asia dibandingkan di AS.
Maka strategi untuk pemasaran dibutuhkan diversifikasi (pengalihan tujuan) pasar. Bila sebelumnya AS atau Eropa menjadi salah satu tujuan utama, maka wilayah Asia Barat seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan negara kawasan timur tengah lainnya kini yang menjadi bidikan. Yang melakukan upaya diversifikasi ini tentunya rekanan UD Arjasa yang ada di Bandung atau Bali.
Selain upaya diversifikasi, penguatan modal pun mutlak dibutuhkan. Yakni bantuan permodalan dengan bunga rendah.
Fransisko sendiri mendapat bantuan pinjaman modal sebesar Rp 150 juta dari Bank Jatim pada 2007 dengan bunga lunak 6% per tahun. Pinjaman modal ini, kata Frans, cukup membantu untuk mengembangkan usahanya. Tenaga kerja yang sebelumnya hanya beberapa orang kini sudah menjadi 50 orang pekerja.
Dalam satu bulan, UD Arjasa mampu menghabiskan sedikitnya 50 kubik kayu pinus sebagai bahan berbagai produk kerajinan. Sementara kayu olahan lainnya sebanyak 10 kubik dihabiskan sebagai bahan untuk pembuatan kusen jendela atau pintu. Omzetnya per bulan paling sepi setidaknya mencapai Rp 100 juta. “Perkembangannya memang lumayan kalau melihat pada 1998-2000 silam saat nyaris bangkrut,” jelas Frans.

Komentar

Posting Komentar